Malap Maniru : Tarian Perayaan Kematian Kaharingan


Foto oleh: Ajun



Sorot lampu menyinari bagian tengah panggung yang semula gelap. Dua orang penari tampak keluar dari samping panggung dengan langkah kaki mengentak. Gerakan tarian mereka selaras dengan tempo gamelan dengan ritme sedang. Di atas kepala mereka terdapat hiasan bulu burung tingang. Penari wanita mengenakan pakaian lengan panjang biru dan rok merah dengan renda di ujungnya. Sedangkan penari lelaki mengenakan baju sangkarut yaitu baju tradisional Kalimantan yang terbuat dari kulit pohon lemba. Kedua penari itu menari saling berputar satu sama lain. Penari pria mengentakkan kepala dan menirukan suara burung. Setelahnya, muncul enam penari wanita lainnya di atas panggung dengan gerakan mengayunkan tangan mereka sambil mengelilingi panggung. Para penari itu menggerakkan tangan mereka dengan sepadan satu sama lain. Sementara penari pria dengan topeng burung menari diantara para penari wanita. Tarian tersebut merupakan tarian Piyang Laman untuk menyambut panen dan menjadi tarian pembuka dari serangkaian tarian Malap Maniru.
Tarian ini dipentaskan pada “Pementasan Wayang Topeng 2017” yang diselenggarakan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan tersebut merupakan rangkaian acara tahunan yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta pada Selasa malam (04-4). Tari Malap Maniru merupakan bentuk kebudayaan yang masih ada dan terjaga hingga sekarang oleh suku Dayak Tomun di Kalimantan Kabupaten Lamandau. Tarian ini dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Tomun yang menganut kepercayaan Kaharingan. Kepercayaan ini menganggap Tuhan dengan banyak wujud atau banyak dewa, seperti dewa yang menguasai tanah, air, dan tempat hingga kejadian lain. Namun mereka tetap memercayai adanya suatu kekuasaan tertinggi yang bisa diartikan sebagai Tuhan.
Tarian ini merupakan salah satu tarian dalam Festival Babukung. Festival Babukung merupakan festival perayaan untuk orang yang meninggal.Para penari yang menari selama festival Babukung disebut bukung. Mereka merupakan tetangga atau kelompok masyarakat yang hadir untuk menghibur keluarga yang sedang dirundung duka. Mereka memberikan beras, babi, tuak dan kebutuhan lainnya sebagai bentuk belasungkawa.
Sekitar kurang lebih lima menit setelah tarian pembuka, di atas panggung muncul lelaki  sebagai pemangku adat atau mantir. Ia pun memberikan wejangan atau arahan kepada para gadis desa agar menjaga perilaku dan tidak melanggar pantangan adat. Ia juga memberikan minuman yang telah dibacakan mantra kepada salah satu gadis desa. Namun, karena terlalu senang dengan perayaan penyambutan panen raya tersebut, para gadis lupa dengan pantangan. Kemudian,  hal yang mengkhawatirkan, muncul hantu yang menyerupai manusia memakai topeng bernama Hantu Sarupa mengganggu para gadis. Hantu Sarupa pun menawan satu gadis untuk menidurkannya serta mencabut nyawanya.
Mantir dan penduduk yang mengetahui hal itu berusaha menyelamatkan para gadis desa yang lain, namun salah satu gadis telah meninggal dunia. Pengiring musik berupa kelinang, gendang, gong, gamak, dan salakatuk dimainkan dengan nada atau ritme cepat pertanda kematian telah datang. Mantir pun menghampiri gadis tersebut dan menancapkan dupa di samping gadis. Asap dupa menyebar dan seketika di sekitar panggung tercium aroma dupa. Malap Meniru pun digelar dan masa berkabung dimulai.
Kemudian dari sisi panggung muncul empat lelaki membawa peti mati dan meletakkan di depan panggung. Bahan peti mati yang digunakan untuk menaruh mayat dibuat berdasarkan status sosial  dari orang yang meninggal. Semakin tinggi statusnya, maka semakin bagus kayu yang digunakan. Festival Babukung dilaksanakan berdasarkan kemampuan secara ekonomi keluarga dari pihak yang meninggal. Semakin terkenal dan tinggi derajat seseorang, maka semakin lama dan meriah  festival ini diadakan.
Mayat di dalam peti mati yang tak kunjung dikuburkan karena menunggu terlaksananya festival Babukung. Selama itu para penari akan terus melakukan tarian Malap Maniru. Para penari menggunakan topeng dan kostum menyerupai hewan dan hantu sebagai lambang dari roh-roh nenek moyang. Mereka ibarat datang dari Sebayan Tujuh Saruga Dalap atau surga untuk menghibur keluarga yang tengah berduka. Para bukung menari dengan memakai topeng yang  melambangkan roh dan hewan hewan dari surga disebut Luha’. Tarian tersebut juga bertujuan untuk menjemput roh si gadis menuju surga.
Dunia atas atau kehidupan akhirat yaitu surga dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah atau bumi yang dilambangkan melalui pot. Setelah gadis selesai dikebumikan, digelar acara Ayah yaitu penghormatan terakhir bagi almarhum supaya jalan menuju ke surga di permudah dan arwahnya tenang di sana. Acara ini  adalah acara terakhir dari rangkaian Festival Babukung.. Hal ini ditandai dengan  penari yang membawa pot atau Balanga atau Kataladah beserta tanaman atau batang pohon Haring yang diikat dengan kain kuning. Kedua hal  itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan.Masyarakat percaya dengan diadakannya Upacara Ayah dan tarian Babukung tersebut akan membuang hal hal negatif dari kematian salah satu keluarga. “Upacara Ayah dilakukan untuk membuang kesialan dan menjadi tanda bahwa masyarakat mengakhiri masa berkabung,” tutur Hidayat selaku  Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lamandau.

Selain pementasan Malap Maniru juga terdapat tari topeng Smara Dhahana dari Jawa Timur dan tari topeng Dermayon dari Indaramayu. Ketiga tarian ini didasarkan pada kebudayaan dan kepercayaan yang berkembang di daerah tarian tersebut berasal. Pementasan Wayang Topeng merupakan pertunjukan wayang orang yang berperan sesuai perkataan dalang yang berbahasa Jawa Kuno atau Jawa Kawi. Semua penampilan tari tersebut dilengkapi dengan topeng yang menggambarkan latar belakang suatu kepercayaan tertentu. Acara tahunan ini, menurut Hidayat membantu mengenalkan kebudayan dari berbagai daerah secara luas. “Semoga penampilan tarian yang dibawakan oleh teman-teman dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi daerah asli tempat tarian tersebut berasal,” harapnya. [Henny Ayu Amalia, Lailatul Zunaeva]

Comments

Popular posts from this blog

Traffic Problem

Sore Itu